WTO Memperparah Ketergantungan Pangan Impor dan Korupsi
Jakarta, 15 Februari 2013. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme atau Gerak Lawan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pasalnya, pada level dunia, WTO telah melemahkan daya saing Indonesia, sedang didalam negeri berdampak pada meluasnya praktik korupsi dan impor pangan.
Konsekuensi lainnya, berdampak pada masifnya laju alih fungsi lahan pertanian dan hutan produktif untuk kegiatan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit, yang secara langsung memperparah penindasan dan pemiskinan rakyat Indonesia, baik laki-laki dan perempuan.
Sebelumnya, Presiden Partai Kesejahteraan Rakyat, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap oleh KPK atas dugaan keterlibatannya dalam permainan kuota impor daging. Berdalih untuk melindungi kepentingan nasional terhadap aturan WTO yang melarang pembatasan impor, penetapan kuota impor telah menimbulkan persekongkolan antara importir dengan pemerintah. Pada konteks inilah impor produk pangan menjadi bisnis yang identik dengan praktik manipulatif hingga koruptif.
Pada tahun 2012, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 80 triliyun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya memperparah kehidupan rakyat, utamanya perempuan. Akibat dari maraknya impor pangan, khususnya di sektor perikanan, telah menyebabkan industri perikanan indonesia sedikit menyerap tenaga kerja. Kurun 2009-2011 industri pengolahan ikan hanya mampu menyerap sekitar 250 ribu jiwa.
Tidak hanya itu, WTO juga telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia. Pada Januari 2013, Amerika Serikat (AS) telah mengajukan gugatan kepada WTO terhadap kebijakan impor produk hortikultura. Indonesia dituding terlalu protektif dan harus membuka keran impor hortikultura. Tak lama setelahnya, AS kembali mempermasalahkan bantuan kepada petambak udang di Indonesia yang ditengarai sebagai praktik dumping. Serta tak lupa kasus rokok kretek beberapa tahun lalu.
Rejim perdagangan bebas WTO telah mengancam hak bangsa dan negara kita untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian yang berguna untuk kepentingan Indonesia. Terutama dalam pemaksaan membuka keran impor, pasal-pasal dalam WTO (dan juga perjanjian perdagangan bebas, FTA) jelas menggerus kedaulatan pangan kita. Pasar dan harga domestik hancur. Oleh karena itu, Kami yang tergabung dalam Gerak Lawan, mendesak:
1. Presiden Indonesia untuk melakukan moratorium terhadap perjanjian-perjanjian perdagangan internasional yang diikuti dengan evaluasi terhadap berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah diikatkan sebelumnya, baik dalam tingkat WTO maupun FTA regional dan bilateral, yang merugikan kepentingan nasional dan bertentangan dengan konstitusi.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera membatalkan proses penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan yang dalam pandangan kami, berdasarkan Naskah Akademik RUU Perdagangan versi 2012, bahwa RUU tersebut telah menghilangkan kedaulatan ekonomi Indonesia dan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip dan aturan WTO.
3. Secara khusus terkait rencana Pertemuan APEC dan WTO, dimana Indonesia sebagai tuan rumah, kami meminta presiden maupun DPR untuk tidak menggunakan momentum tersebut untuk meliberalisasi sektor-sektor strategis nasional dengan mengikatkan diri diberbagai perjanjian perdagangan bebas (FTA), termasuk pangan dan pertanian yang akan memperkuat penindasan dan pemiskinan.
Oleh sebab itu, Gerak Lawan mengajak segenap rakyat Indonesia, khususnya petani, nelayan, pedagang mikro dan kecil, buruh, termasuk buruh migran, dan perempuan untuk terlibat aktif melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan liberalisasi perdagangan diseluruh sektor dengan melaporkan berbagai kerugiannya kepada institusi pemerintah atau melalui Posko Pengaduan “Forum Buka Kuping” yang diinisiasi oleh Gerak-Lawan di sejumlah wilayah. Perlawanan terhadap WTO ini akan juga menjadi perlawanan terhadap perjanjian perdagangan bebas lainnya yang merugikan kepentingan rakyat.
WTO adalah organisasi yang mengatur perdagangan dunia dengan menuntut Negara-negara anggotanya untuk membuka pasar seluas-luasnya bagi perdagangan internasional melalui penghapusan berbagai hambatan dalam perdagangan baik dalam bentuk tariff maupun non-tarif. Indonesia resmi mejadi anggota WTO melalui ratifikasi UU No.7 tahun 1994 tentang Ratifikasi pembentukan WTO.*
Kontak media:
M. Riza Damanik, Direktur Eksekutif IGJ (0818773515)
Henry Saragih, Ketua Umum SPI (0811655668)
Dwi Astuti, Direktur Eksekutif Bina Desa (0811810185)
Gunawan, Ketua Eksekutif IHCS (081584745469)
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (081553100259)
Umar Idris, AJI Jakarta (0818111201)
Siti Maemunah, Koordinator CSF (0811920462)
Dani Setiawan, Ketua KAU (08129671744)
GERAK LAWAN
Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme
Indonesia for Global Justice (IGJ) – Bina Desa – Serikat Petani Indonesia (SPI) – Solidaritas Perempuan (SP) – Aliansi Petani Indonesia (API) – Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) – Climate Society Forum (CSF) – Koalisi Anti Utang (KAU) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) – Institut Hijau Indonesia (IHI) – Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta). Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), atau mungkin juga Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Serikat Buruh Indonesia (SBI).