RAPBN 2013 Korban Eksploitasi Utang

On 11/11/2012

Budget Brief RAPBN 2013

 (Dani Setiawan) 

 Koalisi Anti Utang (KAU)

September 2012


  1.  APBN (Masih) Menjadi Korban Eksploitasi Utang. Dalam RAPBN 2013 porsi pembayaran cicilan bunga dan pokok utang mencapai Rp171.7 triliun (15,0% terhadap Belanja Pemerintah Pusat) atau meningkat sebesar 2,4% dari tahun 2012 sebesar Rp167.5 triliun. Terdiri dari pembayaran bunga Utang Luar Negeri (ULN) dan Utang Dalam Negeri (UDN) sebesar Rp113.243 triliun, serta pembayaran cicilan pokok utang LN sebesar Rp58.405 triliun. Besarnya pembayaran bunga juga disebabkan karena Pemerintah tidak mau menghentikan pembayaran bunga Obligasi Rekapitulasi Perbankan. Sebagaimana dipaparkan oleh Menteri Keuangan, Outstanding surat utang/obligasi rekap sampai dengan tanggal 16 Agustus 2012, berjumlah Rp147,77 triliun atau tersisa sekitar 35 persen dari posisi awal rekap. Sementara itu, komposisi berdasarkan jenis kupon tetap sebesar Rp20,65 triliun (14 persen) yang seluruhnya jatuh tempo pada tahun 2013 dan yang berjenis mengambang Rp127,12 triliun (86 persen) yang akan jatuh tempo pada rentang 2012-2020.   

Grafik. 1

Pertumbuhan Pembayaran Utang dalam APBN (2009-2013)

 

Sumber: APBN, diolah

 

Pengurasan APBN untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tentu akan berdampak langsung berkurangnya porsi anggaran untuk membiayai sektor yang vital dan prioritas seperti diamanatkan oleh konstitusi. Sebagaimana terlihat pada minimnya anggaran untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelayanan umum. Alokasi pembayaran utang pada RAPBN 2013 jauh melebihi jumlah anggaran kesehatan yang hanya Rp50,90 triliun. Atau total anggaran untuk ketahanan pangan sebesar Rp83 triliun dan  anggaran untuk fungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan yang hanya berjumlah Rp19,9 triliun. Dalam kondisi yang lebih memprihatinkan, alokasi anggaran untuk menunjang Kesehatan Ibu dan Anak (AKI) dalam RAPBN 2013 yang hanya berjumlah Rp8,4 triliun.

 

Ketimpangan anggaran ini akan terus dipertahankan Pemerintah dalam rangka menjalankan kebijakan Net Negative Flow, di mana penarikan utang baru lebih sedikit daripada pembayaran utang. Kebijakan ini merupakan langkah keliru, sebab hanya melanjutkan praktek eksploitasi Utang Luar Negeri terhadap anggaran negara akibat terjadinya selisih transfer negatif yang terjadi sejak tahun 1984/1985. Juga bukan solusi untuk mengurangi beban utang, disebabkan makin meningkatnya beban biaya utang dari penarikan utang-utang baru berbiaya mahal (Surat Berharga Negara) oleh Pemerintah dan semakin terbatasnya fasilitas utang luar negeri murah (consessional loan) karena status Indonesia sebagai negara middle income country. Kebijakan ini juga sangat bias kepentingan kreditor dan mengabaikan fakta adanya utang haram (oudius debt) dan utang tidak sah (illegitimate debt) dari ULN yang bisa dihapuskan serta menghambat kemampuan APBN dalam meningkatkan alokasi anggaran belanja untuk mendorong kemakmuran rakyat banyak.

2. Malas Meningkatkan Pendapatan, Rajin Bergantung Kepada Utang. Berutang masih menjadi ritus tahunan Pemerintah dalam memenuhi kebijakan APBN. Dalam RAPBN 2013, penarikan utang baru berjumlah Rp230.2 triliun melalui peneribatan Surat Berharga Negara (netto) Rp177.3 triliun, pinjaman LN sebesar Rp45.9 triliun, dan penerusan pinjaman LN sebesar Rp6.97 triliun. Jumlah penarikan utang tahun 2013 meningkat 3,7% dari anggaran tahun 2012, yaitu sebesar Rp221,8 triliun. Sementara rata-rata pertumbuhan penarikan utang baru tahun 2009-2012 sebesar 13,2%. Peningkatan volume penarikan utang pemerintah disebabkan masih tingginya ketergantungan terhadap utang untuk membiayai defisit anggaran yang utamanya karena terjadi peningkatan beban pembayaran bunga dan jatuh tempo utang-utang lama yang ditutupi melalui penarikan utang baru.

                                                                                Grafik. 2

Pertumbuhan Utang Baru (SBN&ULN), 2009-2013

Sumber: APBN, diolah.

 

Padahal, penarikan utang yang terjadi secara terus-menerus tidak diiringi tingkat penyerapan yang baik. Berdasarkan data Bappenas, Selama 12 tahun terakhir (2000-2011) kemampuan untuk menyerap utang luar negeri misalnya, rata-rata hanya berkisar 71,2%. Hal ini berakibat timbulnya beban tambahan dalam bentuk pembayaran commitment fee. Atau bahkan mengakibatkan rendahnya kwalitas proyek yang dilaksakana dan kecilnya manfaat sosial dari proyek tersebut. Hingga Agustus 2012, Kementerian Keuangan mencatat jumlah kumulatif ULN yang belum ditarik mencapai Rp157,9 triliun. Jika nilai ini ditambahkan dengan posisi outstanding utang pemerintah saat ini, maka total nilai outstanding utang pemerintah hingga saat ini mencapai Rp2.118 triliun!. Di sisi lain, dalam RAPBN 2013 pemerintah masih malas meningkatkan sumber penerimaan negara (pajak dan bukan pajak) untuk menghindari penambahan utang baru. Situasi ini memberi peluang dilestarikannya kebijakan anggaran defisit yang dibiayai oleh penarikan utang-utang baru.

DPR juga harus mewaspadai rencana Pemerintah untuk menarik utang siaga (contigency/stand-by loan) dari sejumlah kreditor bilateral dan multilateral dalam RAPBN 2013 sebesar US$5 miliar atau setara Rp46,500 triliun. Selain tidak efektif, utang siaga berpotensi merugikan keuangan negara atas pengenaan biaya-biaya (up-front fee, commitment fee, dll) dan masih disertai persyaratan untuk mendorong liberalisasi  kebijakan ekonomi nasional. Seperti biaya yang dikeluarkan untuk Bank Dunia sekitar US$10,25 juta pada tahun 2009-2010 untuk utang yang tidak dipergunakan oleh Pemerintah. Pada tahun 2009, ULN yang masuk kelompok Deffered Drowdown Option (DDO) dalam hal ini sebagai  Stand By Loan, memiliki karakteristik khusus bahwa pinjaman tersebut baru akan ditarik oleh pemerintah apabila Surat Utang Negara Pemerintah tidak dapat diserap oleh pasar. Hingga 31 Maret 2012, terdapat 3 pinjaman ULN jenis DDO dengan nilai undisbursed amount (nilai utang yang belum ditarik) sebesar USD 4,008.76 miliar.

3.  Utang Meningkat, Ketimpangan Semakin Meningkat. Kebijakan defisit APBN yang ditempuh Pemerintah setiap tahun dengan tambahan utang baru ternyata justru berkorelasi negatif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terbukti gini ratio Indonesia justru semakin meningkat, pada tahun 2012 gini ratio mencapai 0.41. Semakin memburuknya gini ratio antara lain disebabkan pertumbuhan yang lebih condong terhadap konglomerasi dan mengabaikan peranan sektor UMKM maupun koperasi. Selain itu, faktor yang berkontribusi memperparah gini ratio adalah tingginya inflasi yang bersumber dari bahan makanan, akibat ketergantungan impor, sebagai akibat tidak ada alokasi anggaran yang memadai untuk peningkatan sarana dan prasarana sektor pertanian.

 

Tabel. 1

Income Distribution, 2005-2011

 

  40 percent low expenditure 40 percent medium expenditure 20 percent high expenditure Gini Index
2005

20.22

37.69

42.09

0.33

2006

21.42

37.65

41.26

0.36

2007

18.74

36.51

44.75

0.38

2008

18.72

36.43

44.86

0.37

2009

21.22

37.54

41.24

0.37

2010

18.05

36.48

45.47

0.38

2011

16.86

34.73

48.41

0.41

Source : Based on Panel National Socio Economic Survey, BPS.

 

  4. Rasio Utang Turun, Jumlah Utang Meningkat. Jumlah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang terus menurun, dari 56,6% pada 2004 menjadi 24,4% pada akhir 2011 bukanlah “prestasi” yang patut dibesar-besarkan. Sebab rasio ini lebih mencerminkan tingkat “indebtness” sebuah negara, ketimbang beban utang. Penggunaan indikator ini dirasa kurang relevan, mengingat pemerintah terus meningkatkan penarikan utang-utang baru dan tidak adanya perubahan fundamental dari struktur utang pemerintah. Strategi pemerintah dengan memperbesar pembayaran utang dan memperkecil penarikan utang baru, yang disertai dengan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diharapkan akan semakin mempercepat penurunan debt to GDP rasio. Strategi ini sudah tentu mengabaikan opportunity cost dari anggaran negara yang dikorbankan agar pemerintah tetap mampu membayar utang. Beban pembayaran utang yang terlalu besar menyebabkan kemampuan belanja pemerintah semakin kecil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut semakin diperparah dengan perilaku fiskal pemerintah, dimana penarikan utang-utang baru banyak digunakan untuk anggaran rutin.

Rekomendasi:

 

  1. Menghentikan penambahan utang baru, baik Pinjaman Luar Negeri maupun Surat Berharga Negara dalam APBN 2013, untuk mencegah ketergantungan terhadap utang dalam pembiayaan APBN dan terus membesarnya akumulasi utang pemerintah. DPR harus mendorong Pemerintah mengoptimalkan sumber alternatif pendanaan dengan cara meningkatkan penerimaan negara dan penghematan belanja birokrasi. Misalnya dengan meningkatkan penerimaan perpajakan, yaitu meningkatkan rasio pajak dari hanya 12,7% menjadi minimal 14% terhadap PDB. Pemerintah juga harus memiliki target yang jelas dalam mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak, khususnya melalui renegosiasi kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam seperti Minyak, Gas Bumi serta Pertambangan umum yang merugikan kepentingan nasional.
  2. Mengurangi secara signifikan beban pembayaran cicilan bunga dan pokok utang yang dimulai dari tahun 2013. Langkah pengurangan utang juga dilakukan dengan cara membatasi pembayaran utang dalam RAPBN 2013. Langkah ini dilakukan guna memberikan prioritas alokasi anggaran negara untuk pemenuhan hak konstitusi rakyat. Seperti pemenuhan 5% anggaran kesehatan di luar gaji, penambahan anggaran untuk sektor pertanian, perikanan, dan kelautan, anggaran khusus adaptasi perubahan iklim, serta pembangunan infrastruktur dasar lainnya (air, transportasi publik, dll).
  3. DPR dan Pemerintah segera menyusun langkah-langkah pengurangan dan penghapusan utang, untuk mengurangi nilai utang secara absolut bukan hanya menurunkan rasio utang. Termasuk menghentikan pembayaran Obligasi Rekap (OR) yang tidak adil. Didasarkan pada prinsip keadilan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi warga negara.
  4. Agar pemerintah segera membatalkan utang luar negeri yang belum ditarik sehingga tidak menimbulkan beban pembayaran commitment fee.
  5. Melakukan evaluasi kewenangan Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam membuat perjanjian utang luar negeri sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara No. 17/2003 dan UU Perbendaharaan Negara No. 1/2004 karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 11 ayat 2.

 

Leave a Reply