Menghadirkan Kembali Fungsi Negara dan Rakyat untuk Tegakkan Kedaulatan Pangan Indonesia

On 07/04/2013

Kertas Kerja

Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Rabu, 3 April 2013

Hanya kurang dari setahun kita telah dihadapkan pada gonjang-ganjing harga tiga komoditas: kedelai, daging, dan bawang (merah dan putih). Harga tiba-tiba melonjak tinggi. Padahal, tidak ada tekanan pada sisi permintaan. Urusan pangan ternyata kian rentan karena ketergantungan pangan impor kian akut. Ketika harga pangan di pasar dunia bergejolak, harga akan langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Bagai pedang bermata dua, saat harga turun memukul produsen, saat harga naik menghajar konsumen. Pemerintah tak berdaya dan tak mampu mengendalikan harga. Negara yang mustinya hadir sebagai pelindung rakyat, baik produsen maupun konsumen, justru absen.

 

Ada sejumlah hal yang bisa menjelaskan mengapa semua ini terjadi:

 

Pertama, kemerosotan produksi pangan, terutama pangan strategis. Pemerintah telah menetapkan target ambisius: swasembada jagung, kedelai, gula dan daging serta surplus beras 10 juta ton pada 2014. Waktu yang tersisa untuk mencapai target itu tidak lama lagi. Tapi tanda-tanda pencapaian masih jauh. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih. Menurut angka ramalan II BPS, produksi padi, jagung dan kedelai tahun ini masing-masing 68,96 juta ton (naik 4,87% dari 2011), 18,96 juta ton pipilan kering (7,47%), dan 783,16 ribu ton biji kering (-8%). Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton, dan produksi daging 399.320 ton. Dari lima komoditas itu, kemungkinan yang targetnya tercapai hanya beras dan jagung. Sementara kedelai, gula dan daging nonsense diraih. Dalam batas-batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tataniaga yang tidak efisien, konsentris dan oligopolis.

 

Kedua, liberalisasi kebablasan. Sektor pertanian dan pasar pangan mengalami liberalisasi besar-besaran sejak Indonesia menjadi pasien IMF tahun 1998. Lewat Letter of Intent (LoI), Indonesia harus meliberalisasi berbagai sektor, termasuk sektor pertanian-pangan. Liberalisasi tak hanya menyangkut pasar (impor), tapi juga kelembagaan dan pendanaan. Pada 2003 sekitar 83% jenis produk yang masuk ke Indonesia dikenai applied tariff 0-10%, 15% produk jatuh pada tingkat applied tariff  antara 15-20%, dan hanya 1% produk menerapkan applied tariff di atas 30%. Ditambah dengan keanggotaan Indonesia dalam WTO. Ditambah lagi akibat liberalisasi lewat berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), baik bilateral (seperti FTA Indonesia-Jepang, FTA Indonesia-China) maupun regional (seperti ASEAN-China FTA, ASEAN-Australia-Selandia Baru FTA, dan ASEAN-India FTA), bea masuk beras dan gula hanya 30%, dan susu 5%. Tak heran bila tarif bea masuk di Asia, rata-rata tarif Indonesia paling rendah: 4,3%. Padahal India rata-rata 35,2%; Vietnam 24,9%; Jepang 34,0%; Thailand 24,2%; dan China 17,4% (The Economist, 2012). Lemahnya karantina, penerapan SNI, dan berbagai aturan pengaman membuat impor membanjiri Indonesia.

 

Ketiga, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, termasuk kedelai, daging dan bawang, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persayaratan itu belum terpenuhi. Efisiensi dan daya saing seringkali jadi alasan impor. Argumen yang selalu dibangun adalah ‘kalau harga pangan impor lebih murah mengapa susah-susah memproduksi sendiri.’ Atau ‘kalau harga pangan impor lebih murah mengapa harus membeli pangan petani domestik yang lebih mahal.’ Argumen ini sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi oleh subsidi/bantuan domestik, dan pembatasan akses pasar. Akibatnya, harga pangan di pasar dunia bersifat artifisial dan rendah. Di AS misalnya, ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari US$24,3 miliar subsidi pada 2005 sekitar 70-80% diterima 20 komoditas ini. Ujung beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai, gandum, beras, dan gula naik (IATP, 2007).

 

Petani AS dan Uni Eropa (UE) menerima subsidi rata-rata US$21,000 dan US$16,000 per tahun. Petani apel AS menerima US$100 juta/tahun sebagai kompensasi atas kehilangan dalam proses pemasaran. Sekitar 78% pendapatan petani padi di OECD dari bantuan pemerintah. Harga jual produk kemudian tak lagi mengacu kepada biaya produksi. Harga ekspor gandum AS dan UE masing-masing hanya 46% dan 34% di bawah biaya produksi, dengan penguasaan pasar separuh dari ekspor gandum dunia. AS menguasai sekitar separuh dari ekspor jagung yang dijual dengan harga seperlima di bawah harga produksi. Uni Eropa merupakan eksportir terbesar skimmed-milk powder dan white sugar yang diekspor pada harga separuh dan seperempat dari harga produksi.

 

Keempat, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami “setengah privatisasi” menjadi Perum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilege kini semua itu telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata antara 7-8%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog sebagai representasi negara tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak. Gejolak harga pangan akhirnya jadi rutin.

 

Dalam stabilisasi kebutuhan pokok, Malaysia jauh lebih baik. Malaysia memiliki The Price Control Act untuk mengontrol harga barang-barang yang kebanyakan barang-barang makanan sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang berlaku 1961. Undang-undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan. Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25 komoditas dikontrol pada hari-hari besar. Ada pula Majelis Harga Negara yang bertugas memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Ditopang beleid yang komprefensif dan kelembagaan yang kredibel, inflasi di Malaysia bisa ditekan rendah.

 

Kelima, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar dan absennya negara sebagai stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengambil-alih kendali tata niaga. Fungsi stabilisasi harga kini berada di tangan swasta. Padahal, swasta selalu berorientasi maksimalisasi untung. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking yang gurih.

 

Keenam, absennya kelembagaan pangan. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Bisa dikatakan, saat ini tidak ada kelembagaan yang mengurus pangan dalam arti riil. Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal elit daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.

 

Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot diiringi melonjaknya pangan impor. Pada 2012, nilai impor pangan mencapai Rp63,9 triliun, hortikultura Rp12,9 triliun, dan peternakan Rp15,4 triliun. Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan. Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru US$3,178 miliar, tahun 2011 defisit meledak lebih dua kali lipat (US$6,439 miliar). Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan dan bawang putih.

 

Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan terus melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87% per tahun. Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih 5% per tahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi pangan lebih 5% per tahun.

Untuk mengurai berbagai problem struktural itu diperlukan sejumlah kebijakan. Inti dari semua kebijakan tersebut adalah menghadirkan kembali fungsi negara sebagai pelindung rakyat. Dan kebijakan yang harus dilakukan ke depan adalah:

 

Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas dan efisiensi usahatani dan tataniaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumberdaya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar dan teknologi. Untuk menopang itu semua maka pemerintah tidak boleh lagi menunda-nunda untuk melaksanakan pembaruan agraria, karena tanah harus didistribusikan kepada petani Indonesia yang mayoritas sebagai petani gurem. Demikian juga perlu didukung dengan alokasi anggaran memadai.

 

Kedua, mengoreksi ulang liberalisasi yang kebablasan. Adalah tindakah gegabah agresif mengintegrasikan perekonomian dan pasar domestik dengan perekonomian dan pasar global dan regional tanpa banyak berbuat mengintegrasikan perekonomian nasional. Pemerintah abai membangun jaring-jaring pengaman pasar. Rakyat, terutama petani, dibiarkan berjibaku cari selamat sendiri-sendiri. Hasilnya: banjir pangan impor. Ironisnya, barang-barang yang terdesak di pasar domestik adalah hasil produksi dari industri yang sejatinya kita punya potensi keunggulan komparatif, seperti mebel kayu dan rotan, hasil perikanan, pertanian dan hortikultura, hutan, industri makanan dan minuman. Tersedia dua jalan untuk mengakhiri masalah ini: mengkaji ulang keterlibatan Indonesia sebagai anggota WTO pelbagai perjanjian perdagangan bebas yang sudah ditandatangani Indonesia termasuk ASEAN Charter, dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional.

 

Ketiga, mengembalikan fungsi negara sebagai stabilisastor harga pangan strategis. Caranya, merevitalisasi Bulog dengan memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga diserahi mengurus sejumlah komoditas penting lain disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente politik. Harus diakui, saat ini tata niaga sejumlah komoditas masih jauh dari sempurna. Pada kedelai misalnya, dua perusahaan –PT Gerbang Cahaya Utama (menguasai pangsa impor 47%) dan PT Cargill Indonesia (27,6%)—menguasai pangsa impor hampir 75%. Dengan penguasaan pasar (impor) sebesar itu, importir berpeluang me-remote harga. Dalam gula, penguasanya hanya 7-8 perusahaan, yang sering disebut Seven Samurai. Pada terigu, rasio konsentrasi (concentration ratio/CR) 4 industri terigu mencapai 76,2%. Kuasa swasta ini harus dikoreksi dengan menghadirkan kembali fungsi negara via Bulog. Amanat ini juga merupakan perintah pasal-pasal dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.

 

Keempat, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126 UU No 18/2012 tentang Pangan. Kehadiran kelembagaan pangan tidak bisa ditawar-tawar untuk menyelesaikan centang perenang dan karut-marut pangan yang tak terurus selama hampir 14 tahun. Kelembagaan baru ini diharapkan tak hanya berkutat pada perumusan kebijakan, dan koordinasi pembangunan pangan, tapi juga menuntaskan kemelut harga pangan yang selalu menjadi agenda rutin tahunan yang telah menggerus sumberdaya yang cukup besar. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mustinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas.

 

Kelima, menghadirkan kembali peran dari usaha rakyat melalui koperasi-koperasi usaha untuk memasarkan produksi pertanian dan kebutuhan pokok sehari-hari rakyat.

 

Keenam, menggunakan momentum sensus pertanian yang sedang berlangsung saat ini untuk menyusun data produksi dan konsumsi pangan di Indonesia, sehingga tidak dengan mudah dimanipulasi oleh pelbagai kepentingan.

 

Kontak:  

 

  1. Dr. Hendri Saparini (Ekonom AEPI)
  2. Khudori (Ahli Pertanian dan Pangan AEPI)
  3. Prof. Dr. Bustanul Arifin (Guru Besar UNILA/AEPI)
  4. Henry Saragih (Ketua Serikat Petani Indonesia/AEPI)

 

Leave a Reply