Enam Puluh Empat Tahun Merdeka Dijajah Utang

On 12/11/2012

Sejak 60 tahun lalu (1949 – 2009), Indonesia terus dijajah oleh utang. Dalam perjanjian Konfrensi Meja Bundar (1949), Belanda mewariskan utang sebesar US$ 4 miliar dolar sebagai syarat kemerdekaan republik. Padahal utang tersebut digunakan untuk memerangi rakyat Indonesia dan menguras kekayaan alam. Selain menanggung beban utang, Indonesia juga harus tunduk pada aturan-aturan ekonomi di bawah International Monetery Fund (IMF). Sejak saat itu, semasa pemerintahan Orde Lama, utang menjadi alat bagi intervensi asing terhadap kebijakan ekonomi dan politik di dalam negeri. Selain itu, warisan utang luar negeri yang besar dari KMB telah menyulitkan Indonesia membiayai pembangunan di awal kemerdekaan.

Selesai orde lama, rezim utang baru dibangun dengan dukungan lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank. Di bawah kekuasaan Soeharto (1965 – 1998), jumlah utang Indonesia meningkat sangat pesat. Jumlah utang luar negeri Indonesia membengkak mencapai US$ 54 miliar. Utang-utang tersebut diperoleh dari lembaga keuangan internasional dan negara-negara industri kaya (Amerika, Eropa dan Jepang). Dengan jumlah utang yang besar tersebut, orde baru bertahan selama 32 tahun dan para pejabatnya berhasil memperkaya diri dengan mengkorupsi dana utang. Kebijakan ekonomi semakin terbuka bagi investor asing, dan kekayaan alam dikuras. Sementara rakyat kebanyakan, hidup dalam ketertindasan dan kemiskinan.

Empat rezim yang dilahirkan pasca reformasi 1998 (BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono) berperilaku sama buruk dengan sebelumnya. Mereka mencatat “sukses” dalam mengakumulasi beban rakyat dengan menambah utang baru. Bahkan sampai Juni 2009, jumlah utang pemerintah sudah mencapai angka US$ 73 miliar (Rp732 triliun). Jumlah tersebut semakin besar jika ditambah jumlah Surat Berharga Negara sebesar US$96 miliar (968 triliun).

Apa Dampaknya Bagi Rakyat Miskin?

Sampai tahun 2005, Koalisi Anti Utang (KAU) mencatat, total komitmen utang luar negeri yang sudah dicairkan jumlahnya mencapai US$ 162,3 miliar (sekitar Rp1.600 triliun). Jumlah yang sangat besar bagi pembiayaan pembangunan di Indonesia.Jumlah itu cukup untuk mendirikan ribuan bangunan sekolah di seluruh Indonesia dan menggratiskan biaya pendidikan. Membangun rumah sakit, memberi makan rakyat miskin, membangun perumahan rakyat, membiayai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, membuka lapangan kerja di pedesaan, dan membangun infrastruktur dasar yang menghidupi ekonomi di daerah.

Tetapi yang terjadi justeru sebaliknya. Semakin banyak utang baru masuk, beban pembayaran utang semakin besar. Rakyat indonesia pun menjadi semakin miskin. 49 persen rakyat Indonesia hidup miskin dengan penghasilan di bawah 1 US dolar perhari. 9,43 juta orang masih menganggur. 11,7 juta anak indonesia di 33 provinsi putus sekolah. Dan jutaaan keluarga masih belum memiliki tempat tinggal yang layak dan sehat.

Perjanjian-perjanjian utang juga menyebabkan perampasan kekayaan alam oleh asing. Saat ini 80 persen produksi migas nasional didominasi oleh perusahaan asing. 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Sampai tahun 2007, sedikitnya 38,78 juta hektar hutan kita dikuasai korporasi pemegang HPH, sedikitnya 65 persen kayu hasil pembalakan hutan dijual kepada asing, dan dari sekitar 15 juta ton hasil sawit mentah, 57 persen dijual ke luar negeri. Kebutuhan dalam negeri yang hanya tiga juta ton tidak mampu dijamin pemenuhannya. Alhasil, selain dominasi modal asing dalam perekonomian nasional, 60 tahun pembangunan yang dibimbing utang hanya menghasilkan 150 orang terkaya di Indonesia dengan jumlah kekayaan mencapai US$ 69 miliar (sekitar Rp690 triliun).

Di sisi lain, transaksi utang telah menyebabkan negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang menjadi semakin kaya. Perjanjian utang telah memberikan
fasilitas bagi perusahaan-perusahaan asing dari negara-negara tersebut mengontrol perekonomian Indonesia. Menguasai kontrak-kontrak karya pertambangan,
mengoperasikan jutaan hektar lahan-lahan perkebunan besar dan mengontrol sektor-sektor publik yang penting bagi rakyat. Transfer kekayaan juga
terjadi lewat pembayaran cicilan pokok dan bunga utang yang sangat besar setiap tahun dari Indonesia.Ditambah dengan kecurangan-kecurangan yang
dilakukan pihak kreditor dengan meninggikan biaya utang.

Siapa yang Berutang?

Jika utang hanya alat bagi perampokan sumber daya alam bagi negara maju dan alasan untuk memperkaya segelintir elit di dalam negeri, maka sesungguhnya siapa yang berutang? Rakyat Indonesia sejak dulu tidak pernah berutang. Dan tidak pernah merencanakan, atau meminta pemerintah berutang. Tetapi setiap tahun pemerintah mensosialisasikan beban utang yang harus ditanggung rakyat. Dalam RAPBN 2010 pemerintah kembali merencanakan untuk melibatkan rakyat membayar utang-utang elit yang tidak dirasakannya. Setidaknya, Rp173,8 triliun uang negara akan dihabiskan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang atau 17,4 persen dari total anggaran.

Kondisi semacam ini tidak dapat kita biarkan terus terjadi. Jikapun kita mampu membayar utang setiap tahun, hal tersebut dilakukan dengan cara memeras rakyat. Meningkatkan pendapatan pajak rakyat, mengurangi subsidi, dan melakukan privatisasi/liberalisasi sektor-sektor publik. Sebuah cara paling primitif untuk memperlakukan negara lain lebih mulia dari rakyat sendiri.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Pemerintah dan DPR harus didesak agar menghentikan praktek pemiskinan terhadap rakyat sendiri. Karena itu cara yang dilakukan adalah mendorong mereka untuk merealisasikan penghapusan utang. Rakyat Indonesia berhak mendapat penghapusan utang atas praktek-praktek kotor lembaga keuangan internasional dan negara-negara maju dalam penyaluran utang di Indonesia.Agar penghapusan utang memiliki argumentasi yang kuat, maka perlu segera dilakukan audit proyek-proyek utang secara khusus.

Melalui mekanisme audit utang ini bisa diperjelas mengenai posisi utang Indonesia saat ini. Dari posisi utang yang ada tersebut perlu dijabarkan lagi menjadi utang yang sudah dicairkan dan utang yang belum dicairkan. Untuk utang yang sudah dicairkan, dibutuhkan juga proses audit untuk menentukan nilai proyek yang didanai oleh utang yang hancur karena bencana alam, termasuk Tsunami. Termasuk menentukan nilai proyek yang didanai dengan utang tetapi tidak bisa digunakan atau tidak memberikan manfaat (useless). Juga proyek-proyek utang yang dikorupsi dan menimbulkan kerusakan sosial dan ekologis.

Menghentikan praktek penjajahan utang juga harus diikuti dengan merubah haluan kebijakan ekonomi neoliberal yang dipraktekan saat ini. Kebijakan ekonomi nasional harus bertumpu pada amanat konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan melaksanakan agenda ekonomi kerakyatan.

Koalisi Anti Utang (KAU)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Lingkar Studi-
Aksi untuk Demokrasi Indonesia, Forum Mahasiswa
Alumni Lirboyo, Himpunan Mahasiswa Islam (MPO)

Kontak:

Dani Setiawan / 

Yuyun Harmono / 

Info lebih lanjut silahkan menghubungi:
, kau.or.id








Leave a Reply