Wawancara Koran Jakarta dengan Dani Setiawan

On 05/03/2013

Berutang rupanya masih menjadi ritus tahunan Pemerintah dalam memenuhi kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hingga akhir tahun 2012, utang Indonesia telah mencapai 1.970 triliun rupiah. Jumlah ini diprediksi terus membengkak di masa mendatang. Ironisnya, kemampuan pemerintah membayar utang kian mencemaskan. Hal ini ditandai dengan keseimbangan primer negative yang bakal mengancam kesehatan perekonomian nasional.

Saat income primer dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak tidak bisa menutup belanja negara, pemerintah akan selalu bertumpu pada penarikan utang baru. Menurut Direktur Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, pemerintah harus berupaya serius untuk mencegah kenaikan utang dengan meminta penghapusan utang atau pengurangan utang.

Selain itu, pengelolaan utang harus dilakukan secara baik, jangan sampai terjadi kebocoran. Untuk mengetahui lebih jauh seluk-beluk menyangkut persoalan utang negara berikut pengelolaannya ini, wartawan Koran Jakarta, Mochamad Ade Maulidin, beberapa waktu lalu mewawancarai pria yang juga menjabat anggota Komite Regional Jubilee South and Asia-Pacific Movement on Debt and Development, 2010–2013. Berikut petikannya:

Bagaimana awalnya pemerintah bisa punya utang luar negeri?

Sejak Orde Lama, kita punya beban warisan utang kolonial yang berdasarkan kesepakatan Konfrensi Meja Bundar 1949, tapi itu sudah terbayar tahun 2003. Namun, sejak zaman Presiden Soeharto, terjadi peningkatan penarikan utang pemerintah, sejalan sikap pemerintah yang lebih terbuka pada utang luar negeri dan investasi asing.

Utang luar negeri disalurkan lewat perjanjian bilateral dan multilateral, dimaksudkan sebagai dukungan politik dan program Marshall Plan (dari) pemerintah Amerika Serikat. Mereka memang sengaja menyalurkan pinjaman untuk mendukung rezim-rezim politik yang pro terhadap kepentingan Barat, terutama Amerika Serikat.

Perkembangan utang luar negeri pada Orde Baru untuk mendorong agenda-agenda liberalisasi. Meskipun masih dalam tahap yang terbatas, bagaimana kita mengenal Bank Dunia terlibat dan Asian Development Bank. Sejak tahun 1984-1985, kita mengalami ‘net negative transfer’ (penarikan utang baru lebih kecil dari pembayaran luar negeri). Itu berlangsung sampai sekarang, sehingga mulai krisis utang dalam pengertian secara keuangan. Kemampuan pembayaran utang kita sudah jauh melebihi kapasitas anggaran nasional, terutama kalau dikaitkan dengan penarikan utangutang baru.

Apa dampaknya? Itu menyebabkan kesulitan dalam kondisi keuangan kita. Sumber daya nasional atau pendapatan nasional dari ekspor dan penarikan utang baru tidak cukup untuk membayar kewajiban-kewajiban internasional, apakah itu membiayai impor dan membiayai utang luar negeri. Kemudian, reformasi 1998 memberikan perubahan politik, tapi secara nominal terjadi peningkatan terhadap utang negara, dalam hal ini yang paling besar dikontribusikan surat berharga (obligasi).

Berapa total utang Indonesia pada saat ini?

Pada tahun 98, kira-kira Pemerintahan Soeharto mewarisi utang sekitar 53-54 miliar dollar AS. Sekarang, utang luar negeri kita sekitar 120 miliar dollar AS. Kalau kita gabungkan semua dengan surat berharga terakhir 2012 (sebesar) 1.970 triliun dollar AS. Kalau yang kita bisa katakan dari itu, utang sejak masa proklamasi, khususnya sejak masa Orde Baru, bukan hanya menjadi beban keuangan, tetapi telah menjadi instrumen untuk mengubah perekonomian nasional dari perekonomian untuk menjalankan amanat konstitusi ke perekonomiaan yang prokepentingan asing, dalam hal ini menjalankan agenda-agenda Washington.

Apa yang dimaksud Konsensus Washington?

Konsensus Washington berkembang sejak tahun 80-an ketika Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund), dan Departemen Keuangan AS merespons krisis utang di Negara-Negara Latin Amerika, lalu membuat rumusan bagaimana cara mengobati krisis itu dengan cara melakukan perubahan kebijakan pencabutan subsidi, anggaran ketat, (dan) rezim devisa bebas. Penerapan Konsesus Washington sangat masif pada periode reformasi sampai sekaranng.

Mengapa Indonesia menjadi bagian Konsesus Washington?

Latar belakang Konsesus Washington adalah saat Departemen Keuangan AS, Bank Dunia, dan IMF membuat suatu paket kebijakan restrukturisasi ekonomi. Kemudian, ini digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (seperti) IMF, Bank Dunia, Asia Development Bank, dan satu lembaga keuangan regional sebagai syarat-syarat yang harus dilakukan kepada sebuah negara yang mendapatkan fasilitas pinjaman dari lembaga-lembaga itu.

Dulu, Indonesia mendapatkan fasilitas pinjaman dari Bank Dunia, tapi harus menjalankan agendaagenda kebijakan reformasi (seperti) liberalisasi dan deregulasi. Jadi, sebagai syarat yang mengikat setiap pencairan utang luar negeri. Liberalisasi di sektor keuangan, perbankan, dan industri terjadi dalam skala yang lebih luas pada masa periode Reformasi dibandingkan periode sebelumnya. Ini terjadi karena ada kepentingan Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan sampai sekarang, meskipun mereka sedang mengalami krisis (keuangan) hebat.

AS menggunakan lembaga keuangan internasional atau bantuan luar negerinya untuk mendapatkan kepentingan ekonomi (dan) politiknya, misalnya dalam konteks mendorong Bank Dunia untuk menyalurkan utang guna mendapatkan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam di Indonesia (seperti) minyak dan gas atau mendorong industri-industri yang berasal dari Amerika Serikat untuk masuk ke pasar domestik Indonesia.

Mugkinkah perekonomian Indonesia bisa lepas dari jerat utang?

Sangat mungkin, kalau kita kembali kepada apa yang diyakini Soekarno dan Hatta. Sebenarnya, Indonesia bukan negara yang tertutup secara perekonomiannya. Utang luar negeri dimungkinkan sejauh tidak dikenai syarat-syarat politik, bunganya rendah, dan jangka waktu pembayaran lama. Para pendiri bangsa kita itu sangat waspada bahaya intervensi dari kepentingan asing terhadap utang luar negeri.

Sekarang, kewaspadaan utang luar negeri semakin menurun sejalan dengan pemikiran pengelola negara ini yang tidak aware (peduli) terhadap amanat konstitusi untuk mendorong kemandirian ekonomi. Itu menyebabkan Indonesia terjebak lingkaran utang yang seolaholah tidak pernah putus.

Bagaimana perbandingan utang Indonesia dengan negara-negara di ASEAN?

Di Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina merupakan dua negara yang menjadi korban eksploitasi utang dalam konteks utang luar negeri ataupun surat berharga. Bagaimana kedua negara ini menjadi rusak perekonomiannya, menjadi hancur industri dan konstitusinya karena intervensi lembaga-lembaga keuangan internasional.

Filipina tahun 1960-1970-an tertinggi perekonomian di Asia Tenggara, tapi pada saat yang sama pinjaman utang luar negeri mereka meningkat. Karena meningkat pinjaman luar negeri, akses modal asing sumber-sumber ekonomi asing meningkat. Ketika sumber daya alamnya habis, lalu Filipina menjadi negara yang ekonomiya relatif stagnan di kawasan Asia Tenggara.

Utangnya besar, ketimpangan ekonominya luar biasa besar. Suatu saat, sumber daya alam kita habis dan kita akan menghadapi apa yang Filipina hadapi sekarang. Saya khawatir kalau kita tidak mengoreksi kebijakan ini, Indonesia, saya kira akan menuju negara gagal.

Apa indikasinya?

Pertama, terjadi peningkatan beban utang dari data yang saya miliki 2005 sampai 2012 pembayaran utang kita dalam dan luar negeri mencapai 1.584 triliun rupiah, terjadi peningkatan secara konsisten. (Tahun) 2005 pembayaran utang total 126 triliun rupiah, tahun 2012 meningkat menjadi 274 triliun rupiah. Itu harus menguras anggaran negara pendapatan dari pajak. Kedua, terbatasnya penerimaan negara dari sumber-sumber dalam negeri sehingga tidak optimalnya pembayaran pajak.

Seharusnya, rasio pajak kita bisa 14 sampai 15 persen, tapi pajak rasio kita masih 12 persen. Sumber daya alam bagi hasil dan royalti, karena didominasi modal asing. Manfaat ekonomi terhadap negara menjadi minimal. Selain itu, dalam konteks internal juga terjadi praktik penyalahgunaan keuangan negara yang sangat masif dengan meningkatnya korupsi.

Apakah moratorium utang solusi cepat untuk mengatasi persoalan ini?

Salah satu yang kami lawan adalah satu pikiran hegemoni yang sejak Orde Baru sampai sekarang tanamkan, bahwa kalau kita bersikap tegas terhadap eksploitasi asing terhadap utang luar negeri atau investasi asing itu, akan menimbulkan citra negatif. Kalau kita menegosiasikan itu, nanti rating (peringkat) investasi kita turun.

Saya kira tidak, justru itu pemikiran hegemonik yang terus-menerus dikampanyekan untuk mempertahankan kekuasaan kapitalisme internasional dalam perekonomian Indonesia. Kalau kita hitung dalam konteks utang luar negeri saja, dari utang yang sudah dicairkan sejak Orde Baru sampai sekarang dengan utang yang dibayar itu jauh lebih besar utang yang dibayar ke luar negeri, dan kita dalam posisi masih punya sisa utang luar negeri.

Sebenarnya, transfer Indonesia ke kreditor sudah jauh melebihi kewajiban yang harus dibayar Indonesia. Dari sisi itu, sebenarnya pihakpihak internasional atau kreditorkreditor internasional sudah menikmati dua kali lipat dari kepentingan bisnis mereka di Indonesia. Jadi, kalau kita menegosiasikan pengurangan utang itu adalah sesuatu yang saya kira secara moral sah.

Bagaimana dari sisi hukum?

Secara hukum tidak ada kewajiban hukum yang melekat pada pemerintah Indonesia hari ini pada kewajiban-kewajiban utang di masa lalu yang penggunaan utang itu tidak bisa dipertanggungjawabkan (seperti) dikorupsi. Norma hukum semacam itu dilakukan sampai hari ini bahkan dilakukan oleh Amerika tahun-tahun terakhir ini dengan meminta sejumlah kreditor Irak untuk memberikan penghapusan utang kepada Irak.

Alasan Amerika, beban utang Irak rezim pascaSadam tidak bisa menjadi tanggungan, karena utangutang itu dikorupsi rezim Sadam. Pertanyaannya, mereka bilang Soeharto mengorupsi dan diakui Bank Dunia dan banyak laporan internasional lain, tapi mengapa kita tidak boleh meminta penghapusan utang? Memang usulan penghapusan utang munculnya dari masyarakat sipil.

Memangnya bisa masyarakat sipil memaksa penghapusan utang ke kreditor?

Saya kira kalau kita mau mendorong proses demokrasi yang baik di Indonesia, mestinya keterlibatan masyarakat dalam memutuskan suatu kebijakan diakomodasi. Kalau arus besar masyarakat meminta mengurangi utang pemerintah mestinya tercermin dalam kebijakan. Coba cek kebijakan apa yang sudah dibuat terkait dengan upaya mengurangi utang, bukan hanya statement (pernyataan) saja.

Konsepnya adalah harusnya DPR sebagai wakil rakyat memunyai proposal yang jelas. Inisiatif untuk mendorong agenda-agenda pengurangan utang, dalam hal ini penarikan utang baru atau penghapusan utang lama harus muncul dari anggota DPR. Anggota DPR memberikan tekanan (kepada) pemerintah untuk mengoperasionalkan itu. Saya kira kalau itu bisa dilakukan, caranya bisa lebih mudah.

Negara mana yang pernah mengajukan penghapusan utang?

Argentina. Mereka tahun 2001 menyatakan default (tidak mampu bayar). Setelah itu, proses negosiasi dengan kreditor-kreditor internasional dan pemilik surat berharga di pasar internasional. Sampai sekarang, kondisi ekonomi Argentina biasa saja, tidak ada boikot kepada Argentina, dan tidak ada sanksi politik yang dikhawatirkan. Saya juga sering menyebut Nigeria, mereka membuat usulan menghapus atau mengurangi utang pada kreditor terbesar mereka, Inggris, dengan membuat suatu proposal atau perencanaan pembangunan yang komprehensif yang bisa dipertanggungjawabkan pada kreditor.

Bagaimana Anda melihat peran Ditjen Pengelolaan Utang?

Pembentukan Dirjen Pengelolaan Utang secara administratif berhasil menjadikan informasi kondisi utang negara menjadi lebih terbuka, misalnya di website mereka diungkap outstanding utang. Secara administratif memperbaiki pengelolaan utang negara. Saya kira pembentukan Ditjen Pengelolaan Utang tidak ada manfaat apa-apa, kalau mereka tidak naik pada menyelesaikan problem (masalah) utama dari utang.

Mereka mengadministratifkan utang agar bisa dipertanggungjawabkan, khususnya kepada pihak kreditor dan pemilik surat berharga. Lembaga ini tidak dibentuk sebagai gugus tugas yang menjadi frontline untuk mengoreksi kebijakan utang. Apakah itu dalam rangka untuk bernegosiasi dengan pihak internasional. Mereka tidak punya kapasitas untuk mengarah ke sana dan bahkan tidak ada mandat mengarah ke sana. Harusnya, dengan dibentuk DJPU (Ditjen Pengelolaan Utang) keterlibatan masyarakat dalam setiap keputusan penarikan dan penyaluran utang baru dilibatkan.

 
Biodata
Nama Lengkap: Dani Setiawan
Tempat, Tanggal Lahir: Bogor, Jawa Barat, 5 Agustus 1982
Pendidikan:
- S1 Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.
- Mahasiswa S2 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Jakarta,2011-sekarang.
Organisasi:
- Sekretaris Jenderal Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI),2002-2003.
- Peneliti Lingkar Madani (Lima) Indonesia, 2008-2010.
- Direktur Koalisi Anti Utang (KAU), 2008-2013.
- Anggota Komite Regional Jubilee South and Asia-Pacific Movement on Debt and Development, 2010-2013.
- Pengurus Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), 2010-sekarang.

 

SUMBER

Leave a Reply